Hidup Harus Dimaknai...

"He tookupon himself, literally and historically, the force and weight of the evil systems of the world, that reveal their evil nature by crushing human beings, human freedom,human love. It is not merely a theological or spiritual truth that Jesus bore the sin of the world: on the first Good Friday, it was politically and historically true. That is why it changed the world" Tom Wright

Kamis, 23 Agustus 2007

Opini Saya Tentang Kebijakan UN 2008

Dilema UN, Adakah Solusinya?
Kebijakan Ujian Nasional (UN) menempatkan banyak sekolah pada posisi dilematis. Lulus UN menjadi syarat mutlak bagi siswa SMP dan SMA untuk lulus sekolah. Melakukan ujian secara objektif dan jujur berarti menerima konsekuensi tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Tekanan dari siswa, orang tua siswa, reputasi sekolah, bahkan reputasi daerah begitu berat untuk ditanggung. Namun melakukan kecurangan UN berarti mengorbankan integritas dan hati nurani sebagai seorang pendidik. Yang lebih berat adalah banyak siswa yang mengalami demotivasi belajar karena sudah mendengar kabar bahwa jawaban akan beredar pada saat ujian berlangsung. Beberapa sekolah justru terkesan santai menjelang UN 2007 yang lalu, hal ini hanya dapat dijelaskan bila siswanya telah memiliki keyakinan yang tinggi bahwa mereka pasti lulus. Situasi ini adalah jelas kontraproduktif dengan maksud diadakannya UN, yaitu mendongkrak semangat belajar siswa.
Dilema kembali muncul paska dibongkarnya kecurangan UN oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Tim inspektorat menyebut di media massa, bahwa kecurangan seperti yang dilaporkan KAMG belum terbukti. Jadi bukan tidak terbukti. Bukannya memberikan keterangan yang jelas mengenai kecurangan yang sebenarnya terjadi, pemerintah justru merekomendasikan pembebastugasan Kadinas Kota Medan.
Dilemanya, disatu sisi terjadinya kecurangan UN sulit untuk disangkal, seolah telah menjadi rahasia umum. Disisi lain mengakui adanya kecurangan dalam skala besar harus dibayar dengan ongkos yang besar. Misalnya, seperti dikatakan Irjen M. Sofyan, bahwa siswanya dinyatakan tidak lulus, guru diberikan sanksi, demikian juga sekolah-sekolah yang terbukti curang. Berapa jumlah sekolah, guru dan siswa yang akan mendapatkan penalti? Dalam acara Republik Mimpi, Imam Prasojo, bertanya, “mengapa guru dan sekolah ramai-ramai melakukan ini?” Suatu pertanyaan yang sebenarnya perlu direnungkan pejabat diknas sebelum terburu-buru memberikan hukuman. Pemerintah perlu menghadapi persoalan yang sebenarnya. Banyak sekolah tidak siap menghadapi UN. Kualitas pendidikan Indonesia belum mencapai potret pemetaan UN, dimana 96% sekolah dinyatakan berhasil lulus, dengan rerata nasiona >7. Tanpa mengakui persoalan yang ada, tidak mungkin perbaikan dapat dilakukan.
UN dan Realita Pendidikan
Sebagai sebuah kebijakan, UN memang cacat sejak lahirnya. UU Sisdiknas jelas sekali mendelegasikan masalah kelulusan siswa kepada sekolah dan guru. Bahkan dalam UU Guru dan Dosen, hal ini dipertegas kembali. Sementara kebijakan UN membuat penilaian guru dan sekolah menjadi komponen yang kurang berarti. UN menjadi penentu mutlak kelulusan, guru dan sekolah hanyalah menjadi penentu bersyarat. Guru dan sekolah hanya berfungsi kalau siswa telah lulus UN. Artinya siswa yang tidak lulus UN, mutlak tidak lulus. Siswa yang lulus UN, sekolah memang berhak tidak meluluskannya. Suatu hak yang sangat ringkih, bisa dikatakan tidak berarti dalam konteks Indonesia. Wajar bila hampir seluruh sekolah emoh menggunakannya.
Sebagai sebuah kebijakan pendidikan, UN dengan sistem skor tunggal untuk kelulusan mendorong metode belajar yang berorientasi pemecahan soal. Logika pengetahuan digantikan dengan cara singkat dan cepat. Metode belajar didorong menjadi metode karbitan, tidak menghasilkan pengetahuan yang permanen. Apa yang diuji dalam UN tidak menggambarkan proses belajar selama tiga tahun yang telah dialami siswa. Hal itu hanya menggambarkan apa yang mereka pelajari dalam beberapa bulan kursus belajar menjelang UN dilaksanakan.
Disamping itu pusat proses belajar mulai berpindah dari berpusatkan sekolah, menjadi berpusatkan Bimbingan Belajar. UN tidak serta merta menggairahkan iklim belajar di sekolah. Justru yang lebih berkembang adalah bisnis Bimbingan Belajar di luar sekolah. Peran guru semakin disunat. Ditengah persolan besar menghasilkan guru yang profesional, kebijakan UN justru semakin menggaris bawahi rendahnya mutu guru. Sebuah persoalan yang harus dihadapi pemerintah dengan serius dan dengan progarn yang jelas dan terarah.
UN, Kelulusan dan Perbaikan Pendidikan
UN perlu dibebaskan dari posisi dilematis dan menjadikannya sebagai instrumen yang produktif bagi pendidikan Indonesia. Yang paling perlu segera dilakukan adalah melepaskan UN dari beban berat sebagai pengawal gerbang kelulusan. Tugas ini adalah milik guru dan sekolah. Kembalikanlah kepada mereka. Dalam situasi sekarang kecurangan UN perlu diselesaikan secara lebih bijaksana, menyangkut sistem yang merusak, bukan seolah mengkosmetiki pendidikan dan memaksakan kembali UN 2008.
Sebagai sebuah proposal, sebaiknya seluruh peserta UN SMA diluluskan dengan kategori yang berbeda. Misalnya kategori A, B, C dan D. Kategori A dan B, boleh melanjutkan ke Universitas. Kategori C hanya boleh melanjutkan ke program DIII atau yang lebih rendah. Sedangkan kategori D direkomendasikan untuk bekerja sebagai lulusan SMA. Hal yang sama diberlakukan untuk lulusan SMP. Hanya kategori A dan B saja yang boleh melanjutkan ke SMA. Sedangkan kategori C dan D hanya boleh melanjutkan ke sekolah kejuruan. Dengan demikian seluruh peserta UN diluluskan, hanya saja dengan kategori yang berbeda-beda.
Tapi bukankah hal ini bisa menjadi ajang kecurangan yang baru lagi? Sekolah bisa saja berlomba meningkatkan kelulusan kategori A dan B. Memang bisa saja terjadi. Karena itulah perlu dibuat program tindak lanjut UN. Sekolah dengan tingkat kelulusan C dan D yang tinggi diberikan program bantuan yang lebih besar untuk memperbaiki mutu pendidikan mereka. Sarana dan prasarana ditambah, fasilitas ditingkatkan, guru bantuan yang berkualitas juga ditambah. Sementara yang tingkat kelulusan A dan B-nya tinggi, bantuan pendidikannya dikurangi karena memang sudah lebih baik. Di sekolah-sekolah dengan tingkat kelulusan A dan B rendah, pemerintah bisa menyelenggarakan program kelas intensif untuk mendongkrak kualitas pendidikan mereka. Dengan adanya program bantuan yang lebih besar bagi sekolah yang kurang berprestasi, maka bisa diharapkan sekolah akan mencoba lebih objektif dalam menyelenggarakan UN.
Kelihatannya program UN tetap akan dilakukan. Sangat baik bila pemerintah bersikap bijaksana dan berlapang dada. Sebelum UN 2008 dilakukan, persoalan pendidikan perlu diantisipasi dengan cara yang tepat dan arif. Tidak menjatuhkan korban yang tidak perlu dan tidak sepenuhnya bersalah. Dan tidak membiarkan sekolah, guru dan siswa berada dalam ketidakpastian yang berlarut-larut.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Lae denny??

Kok sekolah sekarang keknya makin ribet aja apalagi soal penggolongan yang seperti lae sanpaikan ini??

Apa dengan beropini seperti ini akan membangun satu imej di masyarakat kita kalau lulusan DIII adalah orang-orang yang 'sedikit' pintar?? demikian juga halnya dengan orang-orang yang hanya lulusan Kejuruan,...

Denni B. Saragih mengatakan...

Sebenarnya perbedaan DIII dan S-1 secara fundamental adalah perbedaan kemampuan kognitif. Bisa diteruskan sampai S-2 dan S-3, yang memang harusnya memang lebih baik. Kalau yang lulus D-3 bukan berarti tertutup untuk masuk yang lebih tinggi, asal mampu saja, bukan uangnya tetapi akademiknya. Di Singapore ini yang diterapkan, dan pendidikannya cukup fair dan efisien. Bukan seperti kita, uda S-3 ngak punya kemampuan. S-1 sarjana tapi kapasistas inteleknya rendah sekali. kenapa? yan karena semua orang bisa sekolah apa saja asal ada uang.