Air Mata Guru Bongkar Kecurangan UN Medan
Kecurangan UN SMA dan SMP Direncanakan Sangat Sistematis
Medan, Kompas - Kelompok Air Mata Guru Medan, yang terdiri dari 18 pengawas, seorang kepala sekolah, dan 17 guru yang bertugas mengawasi jalannya ujian nasional di rayon Medan, Sumatera Utara, Kamis (26/4), benar-benar menangis, dan memprotes semua kebohongan dan kecurangan pelaksanaan UN SMA dan SMP yang justru dilakukan oleh para pendidik sendiri.
Ke-36 pendidik dan pengawas ujian itu membongkar kesepakatan dan kecurangan para kepala sekolah di rayon Medan yang secara sistematis membantu anak didik mereka supaya lulus ujian dengan segala cara yang melanggar hukum.
"Kami semua siap dipecat sebagai guru maupun pegawai negeri sipil. Kecurangan UN ini sudah berlangsung tiga tahun. Kami kelompok Air Mata Guru dari Medan menuntut UN ini harus diulang. Kecurangan yang justru dilakukan oleh para guru dan pengawas ini bukan hanya membodohi siswa, tetapi juga mendidik mereka tidak jujur, dan itu artinya pendidikan yang kami berikan tidak ada artinya sama sekali," ungkap Deni Boy Saragih, Koordinator Air Mata Guru, didampingi rekan-rekan guru, pengawas, dan seorang siswa SMP yang mengaku mendapat kiriman SMS jawaban soal UN, di Kantor Yayasan Perkantas, Jalan Sei Merah 6, Medan.
Para guru, pengawas, dan kepala sekolah itu sengaja berkumpul dan mengundang para wartawan Medan, karena sebagai pendidik hati nurani mereka hancur, dan tidak tahan lagi atas praktik kecurangan yang sengaja dibuat oleh para kepala sekolah, dan kantor Dinas Pendidikan Medan.
Beberapa guru perempuan dan guru laki-laki di depan wartawan tak bisa membendung air mata mereka ketika rekan mereka bercerita kepada wartawan. Mereka menyatakan nama-nama mereka boleh ditulis di koran, dan mereka sepakat berani dipecat bila laporan dan tangisan hati mereka itu tidak benar. "Semua yang kami laporkan ini terjadi. Benar-benar terjadi," kata Deni Boy menegaskan.
Sangat sistematis
Para guru tersebut mengungkapkan bahwa kecurangan didesain sangat sistematis oleh para kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat. Caranya, antara lain, membuat kunci jawaban, dan menyebarkannya melalui pesan layanan singkat (SMS) telepon seluler, menuliskannya di potongan kertas, maupun dibacakan langsung di depan kelas.
"Kesepakatan itu sudah dibuat bersama seluruh kepala sekolah di seluruh Kota Medan. Saya mengikuti rapat bersama pejabat dinas pendidikan satu bulan sebelumnya. Masing-masing sekolah diwajibkan membantu anak didiknya agar lulus," kata M Simamora, kepala sekolah salah satu SMA di Kecamatan Medan Helvetia.
Menurut Simamora, kesepakatan itu dibuat lantaran nilai yang harus dicapai siswa untuk bisa lulus ujian lebih berat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Saya melihat, para guru di masing-masing sekolah sepertinya panik," kata Simamora, satu-satunya kepala sekolah yang ikut hadir bersama 35 guru/pengawas UN itu.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri, menjawab pers, mengatakan, informasi soal kesepakatan dan skenario pelulusan peserta UN itu perlu dicek kebenarannya di lapangan. Dia meminta agar jangan sampai ada citra jelek di dunia pendidikan nasional.
"Saya balik bertanya kepada mereka (para guru yang mengungkap skandal UN), mengapa baru sekarang disampaikan? Kita sudah mempunyai pemantau independen. Mestinya pengawas juga bisa dipersoalkan karena membiarkan perilaku menyimpang berlama-lama. Jika hari itu, kita akan mudah bergerak. Salah satu kasus terjadi di SMPN 9. Jika ini dibiarkan akan mengganggu peserta ujian," kata dia.
Muri Manik (anggota kelompok Air Mata Guru), salah seorang guru di SMP swasta di Kota Binjai, menolak permintaan kepala sekolahnya untuk menjadi tim sukses yang bertugas membuat kunci jawaban. Sekolah kemudian merumahkan Muri hingga sekarang. Guru Matematika itu dicap melanggar disiplin sekolah. "Saya tidak bisa melakukannya karena hati nurani saya menolak. Saya tindak ingin membodohi anak didik saya dengan membuat kunci jawaban terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung," ungkap dia.
Pengawas di SMPN 19 Medan, Daud Hutabarat, sempat beradu mulut dengan penyelenggara ujian. Dia menolak menjaga pada hari kedua dan ketiga lantaran sekolah membagikan kunci jawaban yang dibuat di potongan kertas. "Saya seperti patung yang tidak ada artinya. Pihak sekolah hanya bilang, kalau tidak setuju silakan, dosanya saya tanggung," ujar Daud. Kecurangan seperti itu, katanya, sudah terjadi selama tiga tahun sejak dia menjadi pengawas UN. "Jika ada risiko pada pekerjaan saya, saya siap," tutur guru SMU Methodist itu.
Deni Boy Saragih mengemukakan, kejadian serupa terjadi di sejumlah daerah di Sumut, misalnya di Tebing Tinggi, Binjai, Pematang Siantar, Dolok Sanggul, dan Tarutung. Sedangkan sekolah yang dilaporkan telah terjadi kecurangan UN di antaranya SMP 16 Medan, SMA Timbul Jaya, SMP 19, SMA Nasrani 3, SMK 5, SMK Samudera Indonesia, SMK Karya Kusuma, SMK Bina Satria, SMF Medan, SMP 18, SMA Amir Hamzah, dan SMP Marisi. Berdasarkan pengakuan para guru, pengawas, dan kepala sekolah, hal yang sama sebenarnya terjadi di banyak sekolah di Medan. (NDY/MHD/REN/ DOE/JON/HLN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar