Hidup Harus Dimaknai...

"He tookupon himself, literally and historically, the force and weight of the evil systems of the world, that reveal their evil nature by crushing human beings, human freedom,human love. It is not merely a theological or spiritual truth that Jesus bore the sin of the world: on the first Good Friday, it was politically and historically true. That is why it changed the world" Tom Wright

Rabu, 22 Agustus 2007

Tulisan Saya di Kompas 16 Juli 2007

VISI Pendidikan Nasional
Hasil UN 2007, Prestasi yang Lancung

Denni B Saragih

Sewaktu saya SD dulu ada bacaan berjudul "Juara yang Lancung". Kisah itu membekas dan masih teringat sampai kini. Isinya tentang seorang juara yang dicopot gelarnya karena akhirnya ketahuan mencontek dalam ujian, lalu hadiah diberikan kepada juara yang sesungguhnya.

Kisah ini terlintas kembali di benak saya setelah membaca laporan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kepada Komisi X DPR RI pada 14 Juni 2007.

Di sana disebutkan, hasil UN 2007 dicapai dengan tingkat kelulusan 93 persen dan rerata nasional untuk SMA dan sederajat 7,2. Inikah gambaran obyektif pendidikan di Indonesia? Benarkah anak bangsa ini telah mampu mencapai kompetensi kognitif yang setinggi itu?

Ada hal yang membingungkan dalam laporan itu. Terdapat 14 dugaan kecurangan UN yang diinvestigasi Irjen, termasuk di antaranya pemeriksaan terhadap lima dinas pendidikan.

Disimpulkan adanya 25 modus operandi kecurangan, termasuk kecurangan yang melibatkan ketua subrayon dan seluruh kepala sekolah di subrayon tersebut, serta pelanggaran Prosedur Operational Standar (POS) oleh dinas pendidikan, yang cakupannya besar (kotamadya) seperti di Medan.

Apa yang membingungkan? Dalam penanganan kecurangan UN, tidak ada pembatalan hasil UN ataupun pengulangan dengan alasan telah terjadi ujian yang tidak jujur. Tidak ada pengaruh antara pelanggaran UN 2007 dan hasil Nasional yang diberikan. Aneh bin ajaib, jadi UN boleh saja curang asal berhasil mencapai target pemerintah? Ada apa dibalik semua ini?

Keseriusan pemerintah

Kita patut memuji kerja keras Irjen dalam menangani kecurangan UN di Medan. Selama lebih kurang sebulan tim Irjen melakukan investigasi dengan melibatkan banyak anggota Komunitas Air Mata Guru.

Salah satu rekomendasi Irjen kepada Mendiknas sesuai dengan PP No 30/1980 adalah pembebasan jabatan kepala dinas (1 orang) dan kepala subdin (2 orang). Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut menjadi solusi bagi masalah kecurangan UN? Apakah dengan cara ini kecurangan UN tidak akan terulang lagi pada tahun depan?

Perlu pula ditanyakan, apakah Mendiknas memang benar sudah melayangkan rekomendasi tersebut kepada Wali Kota Medan? Sampai akhir Juni (dua pekan sejak rapat dengan Komisi X) ketika dalam satu kesempatan ada yang bertanya hal ini kepada wali kota, ternyata surat Mendiknas belum diterima.

Jadi, sejauh mana sebenarnya Mendiknas serius dalam menangani masalah ini? Apakah sanksi tersebut hanyalah retorika politik untuk meninabobokan anggota dewan? Ataukah memang sejak awal apa pun hasil investigasi Irjen, sebenarnya tidak akan pernah memengaruhi kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah?

Sementara itu, keanehan yang tidak kalah hebat, kepala dinas Provinsi bersikukuh bahwa tidak terjadi kecurangan dalam bentuk apa pun di Provinsi Sumatera Utara. Dalam rapat dengar pendapat DPRD SU Komisi E tanggal 4 juli 2007, yang mengundang beberapa kepala sekolah, pimpinan yayasan dan Komunitas Air Mata Guru, kepala dinas provinsi dengan konsisten menyangkal adanya kecurangan, yang ada hanya percobaan kecurangan.

Hal ini ganjil sekali karena jelas bertolak belakang dengan hasil investigasi Irjen dan penjelasan Mendiknas di depan Komisi X DPR RI. Dan lebih ganjil lagi adalah dinas provinsi tidak mengetahui hasil investigasi Irjen dan rekomendasi yang diberikan oleh Irjen kepada menteri, padahal hal tersebut sudah diliput media TV.

Kasus yang sudah menasional ini terasa sangat aneh ketika di tingkat lokal masih coba disangkal. Di mana koordinasi pusat dan provinsi? Ataukah sebenarnya ada motif untuk mengubur masalah ini, asal proyek tahun depan bisa jalan lagi?

Keseriusan pemerintah dalam menangani pendidikan diuji melalui kasus ini. Di sini akan dibuktikan apakah komitmen pemerintah hanyalah sebatas menjalankan program ataukah memang mau membuka mata terhadap kenyataan pendidikan yang sesungguhnya?

Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Komunitas Air Mata Guru di Medan masih berada dalam suatu pusaran stigmatisasi pesakitan.

Dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD SU pada tanggal 4 Juli 2007, masih ada anggota dewan yang melakukan pembunuhan karakter terhadap komunitas ini dan mempelesetkan namanya menjadi "Komunitas Air Mata Buaya".

Dalam masyarakat kita yang low trust society memang sulit menghargai suatu perjuangan hati nurani karena ngomong soal moral dan kebenaran sudah menjadi permainan retorika politik yang hanya manis di bibir saja.

Namun lebih disayangkan lagi kalau hal itu harus keluar dari dewan yang notabene wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan hati nurani rakyat.

Kurikulum moral

Situasi pendidikan yang sebenarnya sesungguhnya sulit direkam lewat data telanjang. Pemerintah tentu suka dengan angka-angka.

Merekam kenyataan pendidikan lewat obrolan dengan guru dan siswa tentang hasil UN pascapengumuman membuat dada sungguh terasa sesak. Ada beberapa siswa yang menempati ranking pertengahan di kelas gagal UN 2007, padahal mereka mengikutinya dengan jujur dan tidak curang.

Logikanya, kalau mereka gagal seharusnya setengah dari teman sekelasnya gagal. Namun, banyak yang rankingnya di bawah mereka lulus dengan rerata 7-9. Mereka lalu ikut ujian paket C dan batal ikut SPMB. Mereka ini tentu divonis pemerintah sebagai anak malas, yang wajar tidak lulus.

Benarkah demikian? Ada satu sekolah yang lulus 100 persen di mana banyak siswa yang justru malas belajar lulus dengan rerata 8-9. Siswa itu sendiri mengakui bahwa mereka mendapat soal UN dari sebuah SMA negeri.

Guru yang mendengar penuturan itu hanya bisa tercengang dan mengurut dada. Ada kelas yang reratanya di atas kelas unggulan karena memang seluruh siswa di kelas itu mendapatkan bocoran jawaban UN, sedangkan siswa kelas unggulan lebih memilih untuk berusaha sendiri.

Kenyataan-kenyataan yang sulit dibuktikan. Tapi kenyataan itu ada di sana, di antara siswa, sekolah, dan guru, dan akankah pemerintah kita akan membuka matanya untuk melihat hal ini? Akankah menteri dan pejabat kita turun tanpa rombongan dan tanpa status pemerintahan untuk melihat dan mendengar kenyataan pendidikan yang sesungguhnya dan bukan turun untuk melihat dan mendengar apa yang ingin didengar dan dilihatnya?

Akankah pemerintah kita mau menjadi pejabat yang hadir di antara sekolah, murid dan guru, dan bukan hanya mendengar laporan yang indah-indah ataupun sekadar pamer angka-angka statistik dan rerata yang sudah tercemar oleh kecurangan yang kasatmata?

Dalam dunia pendidikan dikenal dua kurikulum, yaitu kurikulum yang tertulis dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum). Yang kedua ini adalah sesuatu yang diajarkan tanpa terekam dalam buku maupun ucapan guru. Kurikulum yang tersembunyi ini sangat memengaruhi proses pembelajaran yang dialami siswa.

Adalah sia-sia mengajarkan moral kemanusiaan kepada anak-anak bila siswa yang tidak mampu membayar uang sekolah dikeluarkan, atau bila sekolah dan guru memperlakukan siswa istimewa karena statusnya sebagai anak pejabat dan anak pengusaha.

Tindakan menerima siswa di sekolah negeri semata-mata karena status sebagai anak pejabat atau anak anggota dewan akan menihilkan semua pelajaran moral tentang integritas dan pendidikan yang mengutamakan obyektivitas.

Kurikulum tersembunyi sering kali justru membatalkan kurikulum yang dituliskan dalam pelajaran yang telah disusun. Kurikulum tersembunyi justru bisa menjadi pendidikan yang memformasi, sedangkan kurikulum tertulis hanya sekadar sesuatu yang menginformasi.

Apa kurikulum moral yang tersembunyi di balik pembiaran kecurangan yang terjadi? Bahwa curang demi keberhasilan itu boleh di Indonesia, bahwa pendidikan bukan soal kecerdasan, tetapi soal kelicinan menyelamatkan diri, bahwa guru yang baik bukan guru yang jujur tetapi guru yang menolong meski harus mengkhianati hati nurani, bahwa pelajaran moral itu hanya teori saja, dalam hidup yang penting fleksibel tergantung situasi.

Ke manakah semua ini akan membawa generasi depan bangsa Indonesia? Krisis moral yang berat, berkepanjangan, dan terbentuknya suatu masyarakat yang sangat skeptis terhadap omongan soal moral dan kebenaran. Ini semua seperti menanti dengan sinis di ujung perjalanan ini. Semoga Tuhan berbelas kasihan kepada anak-anak bangsa ini.

Denni B Saragih, Koordinator Komunitas Air Mata Guru di Medan

Tidak ada komentar: