Hidup Harus Dimaknai...

"He tookupon himself, literally and historically, the force and weight of the evil systems of the world, that reveal their evil nature by crushing human beings, human freedom,human love. It is not merely a theological or spiritual truth that Jesus bore the sin of the world: on the first Good Friday, it was politically and historically true. That is why it changed the world" Tom Wright

Kamis, 23 Agustus 2007

Opini Saya Tentang Kebijakan UN 2008

Dilema UN, Adakah Solusinya?
Kebijakan Ujian Nasional (UN) menempatkan banyak sekolah pada posisi dilematis. Lulus UN menjadi syarat mutlak bagi siswa SMP dan SMA untuk lulus sekolah. Melakukan ujian secara objektif dan jujur berarti menerima konsekuensi tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Tekanan dari siswa, orang tua siswa, reputasi sekolah, bahkan reputasi daerah begitu berat untuk ditanggung. Namun melakukan kecurangan UN berarti mengorbankan integritas dan hati nurani sebagai seorang pendidik. Yang lebih berat adalah banyak siswa yang mengalami demotivasi belajar karena sudah mendengar kabar bahwa jawaban akan beredar pada saat ujian berlangsung. Beberapa sekolah justru terkesan santai menjelang UN 2007 yang lalu, hal ini hanya dapat dijelaskan bila siswanya telah memiliki keyakinan yang tinggi bahwa mereka pasti lulus. Situasi ini adalah jelas kontraproduktif dengan maksud diadakannya UN, yaitu mendongkrak semangat belajar siswa.
Dilema kembali muncul paska dibongkarnya kecurangan UN oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Tim inspektorat menyebut di media massa, bahwa kecurangan seperti yang dilaporkan KAMG belum terbukti. Jadi bukan tidak terbukti. Bukannya memberikan keterangan yang jelas mengenai kecurangan yang sebenarnya terjadi, pemerintah justru merekomendasikan pembebastugasan Kadinas Kota Medan.
Dilemanya, disatu sisi terjadinya kecurangan UN sulit untuk disangkal, seolah telah menjadi rahasia umum. Disisi lain mengakui adanya kecurangan dalam skala besar harus dibayar dengan ongkos yang besar. Misalnya, seperti dikatakan Irjen M. Sofyan, bahwa siswanya dinyatakan tidak lulus, guru diberikan sanksi, demikian juga sekolah-sekolah yang terbukti curang. Berapa jumlah sekolah, guru dan siswa yang akan mendapatkan penalti? Dalam acara Republik Mimpi, Imam Prasojo, bertanya, “mengapa guru dan sekolah ramai-ramai melakukan ini?” Suatu pertanyaan yang sebenarnya perlu direnungkan pejabat diknas sebelum terburu-buru memberikan hukuman. Pemerintah perlu menghadapi persoalan yang sebenarnya. Banyak sekolah tidak siap menghadapi UN. Kualitas pendidikan Indonesia belum mencapai potret pemetaan UN, dimana 96% sekolah dinyatakan berhasil lulus, dengan rerata nasiona >7. Tanpa mengakui persoalan yang ada, tidak mungkin perbaikan dapat dilakukan.
UN dan Realita Pendidikan
Sebagai sebuah kebijakan, UN memang cacat sejak lahirnya. UU Sisdiknas jelas sekali mendelegasikan masalah kelulusan siswa kepada sekolah dan guru. Bahkan dalam UU Guru dan Dosen, hal ini dipertegas kembali. Sementara kebijakan UN membuat penilaian guru dan sekolah menjadi komponen yang kurang berarti. UN menjadi penentu mutlak kelulusan, guru dan sekolah hanyalah menjadi penentu bersyarat. Guru dan sekolah hanya berfungsi kalau siswa telah lulus UN. Artinya siswa yang tidak lulus UN, mutlak tidak lulus. Siswa yang lulus UN, sekolah memang berhak tidak meluluskannya. Suatu hak yang sangat ringkih, bisa dikatakan tidak berarti dalam konteks Indonesia. Wajar bila hampir seluruh sekolah emoh menggunakannya.
Sebagai sebuah kebijakan pendidikan, UN dengan sistem skor tunggal untuk kelulusan mendorong metode belajar yang berorientasi pemecahan soal. Logika pengetahuan digantikan dengan cara singkat dan cepat. Metode belajar didorong menjadi metode karbitan, tidak menghasilkan pengetahuan yang permanen. Apa yang diuji dalam UN tidak menggambarkan proses belajar selama tiga tahun yang telah dialami siswa. Hal itu hanya menggambarkan apa yang mereka pelajari dalam beberapa bulan kursus belajar menjelang UN dilaksanakan.
Disamping itu pusat proses belajar mulai berpindah dari berpusatkan sekolah, menjadi berpusatkan Bimbingan Belajar. UN tidak serta merta menggairahkan iklim belajar di sekolah. Justru yang lebih berkembang adalah bisnis Bimbingan Belajar di luar sekolah. Peran guru semakin disunat. Ditengah persolan besar menghasilkan guru yang profesional, kebijakan UN justru semakin menggaris bawahi rendahnya mutu guru. Sebuah persoalan yang harus dihadapi pemerintah dengan serius dan dengan progarn yang jelas dan terarah.
UN, Kelulusan dan Perbaikan Pendidikan
UN perlu dibebaskan dari posisi dilematis dan menjadikannya sebagai instrumen yang produktif bagi pendidikan Indonesia. Yang paling perlu segera dilakukan adalah melepaskan UN dari beban berat sebagai pengawal gerbang kelulusan. Tugas ini adalah milik guru dan sekolah. Kembalikanlah kepada mereka. Dalam situasi sekarang kecurangan UN perlu diselesaikan secara lebih bijaksana, menyangkut sistem yang merusak, bukan seolah mengkosmetiki pendidikan dan memaksakan kembali UN 2008.
Sebagai sebuah proposal, sebaiknya seluruh peserta UN SMA diluluskan dengan kategori yang berbeda. Misalnya kategori A, B, C dan D. Kategori A dan B, boleh melanjutkan ke Universitas. Kategori C hanya boleh melanjutkan ke program DIII atau yang lebih rendah. Sedangkan kategori D direkomendasikan untuk bekerja sebagai lulusan SMA. Hal yang sama diberlakukan untuk lulusan SMP. Hanya kategori A dan B saja yang boleh melanjutkan ke SMA. Sedangkan kategori C dan D hanya boleh melanjutkan ke sekolah kejuruan. Dengan demikian seluruh peserta UN diluluskan, hanya saja dengan kategori yang berbeda-beda.
Tapi bukankah hal ini bisa menjadi ajang kecurangan yang baru lagi? Sekolah bisa saja berlomba meningkatkan kelulusan kategori A dan B. Memang bisa saja terjadi. Karena itulah perlu dibuat program tindak lanjut UN. Sekolah dengan tingkat kelulusan C dan D yang tinggi diberikan program bantuan yang lebih besar untuk memperbaiki mutu pendidikan mereka. Sarana dan prasarana ditambah, fasilitas ditingkatkan, guru bantuan yang berkualitas juga ditambah. Sementara yang tingkat kelulusan A dan B-nya tinggi, bantuan pendidikannya dikurangi karena memang sudah lebih baik. Di sekolah-sekolah dengan tingkat kelulusan A dan B rendah, pemerintah bisa menyelenggarakan program kelas intensif untuk mendongkrak kualitas pendidikan mereka. Dengan adanya program bantuan yang lebih besar bagi sekolah yang kurang berprestasi, maka bisa diharapkan sekolah akan mencoba lebih objektif dalam menyelenggarakan UN.
Kelihatannya program UN tetap akan dilakukan. Sangat baik bila pemerintah bersikap bijaksana dan berlapang dada. Sebelum UN 2008 dilakukan, persoalan pendidikan perlu diantisipasi dengan cara yang tepat dan arif. Tidak menjatuhkan korban yang tidak perlu dan tidak sepenuhnya bersalah. Dan tidak membiarkan sekolah, guru dan siswa berada dalam ketidakpastian yang berlarut-larut.

Berita di Jakarta Post, 9 Agustus 2007

Teachers fired for reporting national exam cheating

National News - August 09, 2007

Apriadi Gunawan, The Jakarta Post, Medan

Instead of being praised for uncovering cheating at a number of schools during the 2007 national exams, 13 North Sumatra teachers have been discharged and 14 others have had their teaching hours reduced.

Most of teachers said Monday they were surprised by the firings, saying the schools that employed them failed to give clear and compelling reasons for the move.

Jhon Hendra, 26, one of the fired teachers, said that before he was discharged on Aug. 6, he had his working hours be cut from 20 to only four hours per day.

Hendra, a former teacher at Pharmacy Senior High School (SMF) Yapen in Medan, said the sanctions were handed down to him after the start of the new school year.

"I have been treated unfairly by the school management. I suspect my dismissal has something to do with my reports on cheating at Pharmacy Senior High School Pharmaca during the exams," said Hendra.

The teacher, who had worked at the school for a year-and-a-half, said he was appointed to supervise the national exams at SMF Yapen. He said while doing the job he found the school was distributing a number of exam answers to students.

He said he was then summoned by representatives of the school management and told to keep his discoveries a secret.

"I could not conceal the cheating at the exams. Together with other teachers, gathered together in the Teachers' Tear Community, we revealed the cheating to the public through the media," he said.

Hendra said his disclosure of the cheating was aimed at maintaining the quality of Indonesian education.

Denni B. Saragih, coordinator of the Teachers' Tear Community, said that his organization would take legal action over the issue.

He said the first lawsuit would be aimed at Education Minister Bambang Sudibyo and representatives of the schools who had fired and reduced the teaching hours of the teachers.

Denni said the lawsuits would be filed against 30 schools, including Timbul Jaya senior high school (SMA), SMAN 17 Medan, SMPN 19 Medan, SMK TI Bina Satria, SMK Medan Putri, SMK Budi Agung, SMP Marisi Medan and SMA Amir Hamzah.

"We have signed a contract with the Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PHBI) to arrange for the filing of the lawsuits. The documents will be registered with the court as soon as possible," Denni said.

Denni said that the education minister would be included in the lawsuit because unclear policy from his department lead to the teachers' dismissal.

"I'm curious as to why the minister didn't hand down any sanctions to the schools where the cheating was uncovered. The minister himself admitted during a hearing with members of the House of Representatives that 25 types of cheating were found during the exams," he said.

"But not even a single school has been sanctioned," Denni said.

Banyak Arsip

Karena blog ini baru dibuka, maka saya memasukkan beberapa arsip yang dapat dilihat mengenai perjuangan dan pelayanan yang dilakukan dalam hidup ini. Meski urutannya agak simpang siur, semoga bisa lebih menambah isi dari blog ini

Berita Pertama Air Mata Guru

Air Mata Guru Bongkar Kecurangan UN Medan
Kecurangan UN SMA dan SMP Direncanakan Sangat Sistematis

Medan, Kompas - Kelompok Air Mata Guru Medan, yang terdiri dari 18 pengawas, seorang kepala sekolah, dan 17 guru yang bertugas mengawasi jalannya ujian nasional di rayon Medan, Sumatera Utara, Kamis (26/4), benar-benar menangis, dan memprotes semua kebohongan dan kecurangan pelaksanaan UN SMA dan SMP yang justru dilakukan oleh para pendidik sendiri.

Ke-36 pendidik dan pengawas ujian itu membongkar kesepakatan dan kecurangan para kepala sekolah di rayon Medan yang secara sistematis membantu anak didik mereka supaya lulus ujian dengan segala cara yang melanggar hukum.

"Kami semua siap dipecat sebagai guru maupun pegawai negeri sipil. Kecurangan UN ini sudah berlangsung tiga tahun. Kami kelompok Air Mata Guru dari Medan menuntut UN ini harus diulang. Kecurangan yang justru dilakukan oleh para guru dan pengawas ini bukan hanya membodohi siswa, tetapi juga mendidik mereka tidak jujur, dan itu artinya pendidikan yang kami berikan tidak ada artinya sama sekali," ungkap Deni Boy Saragih, Koordinator Air Mata Guru, didampingi rekan-rekan guru, pengawas, dan seorang siswa SMP yang mengaku mendapat kiriman SMS jawaban soal UN, di Kantor Yayasan Perkantas, Jalan Sei Merah 6, Medan.

Para guru, pengawas, dan kepala sekolah itu sengaja berkumpul dan mengundang para wartawan Medan, karena sebagai pendidik hati nurani mereka hancur, dan tidak tahan lagi atas praktik kecurangan yang sengaja dibuat oleh para kepala sekolah, dan kantor Dinas Pendidikan Medan.

Beberapa guru perempuan dan guru laki-laki di depan wartawan tak bisa membendung air mata mereka ketika rekan mereka bercerita kepada wartawan. Mereka menyatakan nama-nama mereka boleh ditulis di koran, dan mereka sepakat berani dipecat bila laporan dan tangisan hati mereka itu tidak benar. "Semua yang kami laporkan ini terjadi. Benar-benar terjadi," kata Deni Boy menegaskan.

Sangat sistematis

Para guru tersebut mengungkapkan bahwa kecurangan didesain sangat sistematis oleh para kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat. Caranya, antara lain, membuat kunci jawaban, dan menyebarkannya melalui pesan layanan singkat (SMS) telepon seluler, menuliskannya di potongan kertas, maupun dibacakan langsung di depan kelas.

"Kesepakatan itu sudah dibuat bersama seluruh kepala sekolah di seluruh Kota Medan. Saya mengikuti rapat bersama pejabat dinas pendidikan satu bulan sebelumnya. Masing-masing sekolah diwajibkan membantu anak didiknya agar lulus," kata M Simamora, kepala sekolah salah satu SMA di Kecamatan Medan Helvetia.

Menurut Simamora, kesepakatan itu dibuat lantaran nilai yang harus dicapai siswa untuk bisa lulus ujian lebih berat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Saya melihat, para guru di masing-masing sekolah sepertinya panik," kata Simamora, satu-satunya kepala sekolah yang ikut hadir bersama 35 guru/pengawas UN itu.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri, menjawab pers, mengatakan, informasi soal kesepakatan dan skenario pelulusan peserta UN itu perlu dicek kebenarannya di lapangan. Dia meminta agar jangan sampai ada citra jelek di dunia pendidikan nasional.

"Saya balik bertanya kepada mereka (para guru yang mengungkap skandal UN), mengapa baru sekarang disampaikan? Kita sudah mempunyai pemantau independen. Mestinya pengawas juga bisa dipersoalkan karena membiarkan perilaku menyimpang berlama-lama. Jika hari itu, kita akan mudah bergerak. Salah satu kasus terjadi di SMPN 9. Jika ini dibiarkan akan mengganggu peserta ujian," kata dia.

Muri Manik (anggota kelompok Air Mata Guru), salah seorang guru di SMP swasta di Kota Binjai, menolak permintaan kepala sekolahnya untuk menjadi tim sukses yang bertugas membuat kunci jawaban. Sekolah kemudian merumahkan Muri hingga sekarang. Guru Matematika itu dicap melanggar disiplin sekolah. "Saya tidak bisa melakukannya karena hati nurani saya menolak. Saya tindak ingin membodohi anak didik saya dengan membuat kunci jawaban terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung," ungkap dia.

Pengawas di SMPN 19 Medan, Daud Hutabarat, sempat beradu mulut dengan penyelenggara ujian. Dia menolak menjaga pada hari kedua dan ketiga lantaran sekolah membagikan kunci jawaban yang dibuat di potongan kertas. "Saya seperti patung yang tidak ada artinya. Pihak sekolah hanya bilang, kalau tidak setuju silakan, dosanya saya tanggung," ujar Daud. Kecurangan seperti itu, katanya, sudah terjadi selama tiga tahun sejak dia menjadi pengawas UN. "Jika ada risiko pada pekerjaan saya, saya siap," tutur guru SMU Methodist itu.

Deni Boy Saragih mengemukakan, kejadian serupa terjadi di sejumlah daerah di Sumut, misalnya di Tebing Tinggi, Binjai, Pematang Siantar, Dolok Sanggul, dan Tarutung. Sedangkan sekolah yang dilaporkan telah terjadi kecurangan UN di antaranya SMP 16 Medan, SMA Timbul Jaya, SMP 19, SMA Nasrani 3, SMK 5, SMK Samudera Indonesia, SMK Karya Kusuma, SMK Bina Satria, SMF Medan, SMP 18, SMA Amir Hamzah, dan SMP Marisi. Berdasarkan pengakuan para guru, pengawas, dan kepala sekolah, hal yang sama sebenarnya terjadi di banyak sekolah di Medan. (NDY/MHD/REN/ DOE/JON/HLN)

Komitmen Air Mata Guru

KOMUNITAS AIR MATA GURU
Denni B. Saragih


Terima kasih buat dukungan, simpati dan doa yang dinaikkan atas perjuangan ini. Dunia memang medan pertarungan kebenaran yang penuh resiko. Semua guru yang tergabung dalam komunitas kita sejak awal telah siap untuk membayar harga atas perjuangan ini. Komunitas ini berdiri atas air mata, dan sadar betul mahalnya harga perjuangan ini sejak awalnya. Ketika ada pihak yang menyatakan motif-motif buruk dibalik perjuangan ini, kita hanya berdiam diri. ketika kita disoraki dalam sidang di bina graha Medan oleh kepala sekolah dan pimpinan yayasan, kami semua mencoba berdiri di atas kebenaran, meski cemooh datang silih berganti. Dalam sebuah acara TV lokal, seorang tokoh menyebut kita BIADAB, kita hanya terpana. Meski tidak balas memaki, kita masih tahu bagaimana menanggapi makian itu dengan cara yang beradab. Ketika banyak orang media, LSM dan pihak lain menanyakan bagaimana kita melindungi diri sendiri, kita menjawab Tuhanlah yang melindungi kita semua. Karena memang inilah keyakinan anggota komunitas ini sejak awalnya. Bukan tidak ada mereka yang mengundurkan diri. Kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Kebanyakan mereka adalah yang sudah berkeluarga, pegawai negeri dan menjabat kepala sekolah. Memang ketika kekayaan dan milik makin bertambah, semakin sulit hidup oleh hati nurani dan semakin sulit untuk menempatkan kebenaran diatas segalanya.

Mohon maaf kalau baru sekarang bisa menyapa Saudara sekalian. Mengenai tanggapan soal S2, dukungan dan lain-lain, itu semua kami jadikan informasi yang akan diteruskan kepada guru-guru. Biarlah mereka menentukan masing-masing. Saya tahu betul bahwa tidak satupun dari mereka yang mencari imbalan apapun dalam perjuangan ini. Kebanyakan mereka masih bergaji 500 ribu-1 juta perbulannya. Guru kontrak yang bisa dipecat sewaktu-waktu, guru bantu yang sangat tergantung pada belas kasihan Dinas Pendidikan dan Kepsek, guru honor yang sangat tergantung pada jumlah jam ngajar: posisi sangat lemah. Meski demikian saya kenal betul mereka, tidak akan ada seorangpun yang akan sekolah S2 atau pindah sekolah hanya untuk meraih masa depan. Saya kenal guru-guru ini sebagai orang-orang yang hidup dalam jalan hati nurani, sebuah jalan yang mengikuti jejak langkah Dia Yang Tersalib dan jalan ini memang berdarah.

Dari interaksi di komunitas ini saya menemukan guru-guru yang mencintai anak didik mereka bukan karena imbalan apapun dan yang sangat mengharukan adalah mereka dicintai oleh murid-murid mereka. Hanya atasan yang tidak menyukai kepolosan merekalah yang membenci mereka.

Suatu kali seorang guru bernama Neny Tarigan diminta membuat surat pengunduran diri oleh pimpinan yayasan. Dia lalu membuatnya dan karena polosnya dia menulis bahwa alasan mengundurkan diri adalah karena permintaan ketua yayasan. Dia dianggap licik oleh yayasan dan cerdik oleh media, tetapi saya tahu betul alasannya bukan kedua-duanya. Namun semata-mata karena kepolosan bertutur. Kepolosan seperti ini tidak dipahami oleh dunia ini, tetapi komunitas ini memahaminya. Ini adalah kode etik yang membuat komunitas ini kokoh dan sulit dirubuhkan. tetapi sekaligus sulit dimengerti bahkan oleh mereka yang mendukungnya.

Pro Deo et Patria

Salam Hangat,


Denni B. Saragih

Press Release di Unesco KAMG

Komunitas Air Mata Guru

(Teachers’ Tears Community)

Tuesday, May 29, 2007- DPR-RI, Jakarta

Komunitas Air Mata Guru (KAMG) have come to meet the Komisi X of DPR-RI together with Education Forum, requesting earnestly DPR-RI to push the government to immediately redesign and reconstruct the policy of National Examination Test (NET, known in Indonesia as UN)) to save the character and the future of the sons of our country. We represent the voice of teachers, who hold on to the voice of conscience and prioritize the quality of education, requesting DPR RI to voice that government will wisely and with positive attitude taking actions and steps on this matter.

Our reasons for proposing these requests are as follow:

  1. The policy of NET have caused the social and administrative pressures that have trapped the Bupati, District Education Department, and Schools Principals to save their face from the real situation of their education and to mark up their result in NET. As the result, cheat and lie have happened systematically and every where in Indonesia.
  2. The rights of children to enjoy education that mold the character and mind of the nation as stated in the UUD-45 have been ignored irresponsibly by this policy. Children are only concentrating on three subjects (Tested in NET), the fun of learning is lost and the pressure of passing the test cause children to participate in NET cheat
  3. Teachers have been trapped in the middle of the storm and in one sense become the victim of the policy that they could not stand the test of integrity and honesty. This shows that the policy of NET does not help in improving the quality of the teachers and education at large.
  4. the policy have robbed the rights of teachers to participate in the process of quality, continuous education and having permanent results as have been granted in the Regulation of Teachers and Lecturer.
  5. The decree of Central Jakarta Court which won the accusation of students, parents, and Education Forum has shown that the NET policy contradicted with legislation of National Education System that has been legislated by DPR. Thus we see that Government has not serious in implementing the will of the people of this nation.

Our Community has produced the 2nd edition of the Report on National Examination Test Cheating which also includes the after math of the school Board, Principals intimidations and pressure from Education Department of our district to the teachers who reported the systematic cheating of NET. Many teachers are pressurized and intimidated to resign, and we have found a case where a teacher was rejected from a job interview only because she acknowledged a commitment for honesty and solidarity with our community. All these social and educational chaos are the impact of the policy of NET which was not well planed and well thought.

We, together with Education Forum, and also, we believe, DPR-RI earnestly ask the SBY Administration to AS SOON AS POSSIBLE TO REFORM THE POLICY OF NATIONAL EDUCATION SYSTEM AND TO BE WISE IN FOLLOWING UP THE DECREE OF ACCUSATION COURT OF CENTRAL JAKARTA. Many ways could be used to achieve the goal of NET. Please don’t stand on status quo. Our works are so immense. To achieve the goal of Education of UUD-45, to mold the mind and character of the sons of our nation, WE PLEAD THE GOVERNMENT TO SET AN EXAMPLE TO US teachers and students what it means to be MEN OF CHARACTER AND INTELLIGENCE.

Here we stand, and we ask that our voice will be voiced by our friends the mass media to the people of our country, the MPR and the government on this country to whom the people bestow their authority.

Rabu, 22 Agustus 2007

Tulisan Saya di Kompas 16 Juli 2007

VISI Pendidikan Nasional
Hasil UN 2007, Prestasi yang Lancung

Denni B Saragih

Sewaktu saya SD dulu ada bacaan berjudul "Juara yang Lancung". Kisah itu membekas dan masih teringat sampai kini. Isinya tentang seorang juara yang dicopot gelarnya karena akhirnya ketahuan mencontek dalam ujian, lalu hadiah diberikan kepada juara yang sesungguhnya.

Kisah ini terlintas kembali di benak saya setelah membaca laporan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kepada Komisi X DPR RI pada 14 Juni 2007.

Di sana disebutkan, hasil UN 2007 dicapai dengan tingkat kelulusan 93 persen dan rerata nasional untuk SMA dan sederajat 7,2. Inikah gambaran obyektif pendidikan di Indonesia? Benarkah anak bangsa ini telah mampu mencapai kompetensi kognitif yang setinggi itu?

Ada hal yang membingungkan dalam laporan itu. Terdapat 14 dugaan kecurangan UN yang diinvestigasi Irjen, termasuk di antaranya pemeriksaan terhadap lima dinas pendidikan.

Disimpulkan adanya 25 modus operandi kecurangan, termasuk kecurangan yang melibatkan ketua subrayon dan seluruh kepala sekolah di subrayon tersebut, serta pelanggaran Prosedur Operational Standar (POS) oleh dinas pendidikan, yang cakupannya besar (kotamadya) seperti di Medan.

Apa yang membingungkan? Dalam penanganan kecurangan UN, tidak ada pembatalan hasil UN ataupun pengulangan dengan alasan telah terjadi ujian yang tidak jujur. Tidak ada pengaruh antara pelanggaran UN 2007 dan hasil Nasional yang diberikan. Aneh bin ajaib, jadi UN boleh saja curang asal berhasil mencapai target pemerintah? Ada apa dibalik semua ini?

Keseriusan pemerintah

Kita patut memuji kerja keras Irjen dalam menangani kecurangan UN di Medan. Selama lebih kurang sebulan tim Irjen melakukan investigasi dengan melibatkan banyak anggota Komunitas Air Mata Guru.

Salah satu rekomendasi Irjen kepada Mendiknas sesuai dengan PP No 30/1980 adalah pembebasan jabatan kepala dinas (1 orang) dan kepala subdin (2 orang). Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut menjadi solusi bagi masalah kecurangan UN? Apakah dengan cara ini kecurangan UN tidak akan terulang lagi pada tahun depan?

Perlu pula ditanyakan, apakah Mendiknas memang benar sudah melayangkan rekomendasi tersebut kepada Wali Kota Medan? Sampai akhir Juni (dua pekan sejak rapat dengan Komisi X) ketika dalam satu kesempatan ada yang bertanya hal ini kepada wali kota, ternyata surat Mendiknas belum diterima.

Jadi, sejauh mana sebenarnya Mendiknas serius dalam menangani masalah ini? Apakah sanksi tersebut hanyalah retorika politik untuk meninabobokan anggota dewan? Ataukah memang sejak awal apa pun hasil investigasi Irjen, sebenarnya tidak akan pernah memengaruhi kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah?

Sementara itu, keanehan yang tidak kalah hebat, kepala dinas Provinsi bersikukuh bahwa tidak terjadi kecurangan dalam bentuk apa pun di Provinsi Sumatera Utara. Dalam rapat dengar pendapat DPRD SU Komisi E tanggal 4 juli 2007, yang mengundang beberapa kepala sekolah, pimpinan yayasan dan Komunitas Air Mata Guru, kepala dinas provinsi dengan konsisten menyangkal adanya kecurangan, yang ada hanya percobaan kecurangan.

Hal ini ganjil sekali karena jelas bertolak belakang dengan hasil investigasi Irjen dan penjelasan Mendiknas di depan Komisi X DPR RI. Dan lebih ganjil lagi adalah dinas provinsi tidak mengetahui hasil investigasi Irjen dan rekomendasi yang diberikan oleh Irjen kepada menteri, padahal hal tersebut sudah diliput media TV.

Kasus yang sudah menasional ini terasa sangat aneh ketika di tingkat lokal masih coba disangkal. Di mana koordinasi pusat dan provinsi? Ataukah sebenarnya ada motif untuk mengubur masalah ini, asal proyek tahun depan bisa jalan lagi?

Keseriusan pemerintah dalam menangani pendidikan diuji melalui kasus ini. Di sini akan dibuktikan apakah komitmen pemerintah hanyalah sebatas menjalankan program ataukah memang mau membuka mata terhadap kenyataan pendidikan yang sesungguhnya?

Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Komunitas Air Mata Guru di Medan masih berada dalam suatu pusaran stigmatisasi pesakitan.

Dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD SU pada tanggal 4 Juli 2007, masih ada anggota dewan yang melakukan pembunuhan karakter terhadap komunitas ini dan mempelesetkan namanya menjadi "Komunitas Air Mata Buaya".

Dalam masyarakat kita yang low trust society memang sulit menghargai suatu perjuangan hati nurani karena ngomong soal moral dan kebenaran sudah menjadi permainan retorika politik yang hanya manis di bibir saja.

Namun lebih disayangkan lagi kalau hal itu harus keluar dari dewan yang notabene wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan hati nurani rakyat.

Kurikulum moral

Situasi pendidikan yang sebenarnya sesungguhnya sulit direkam lewat data telanjang. Pemerintah tentu suka dengan angka-angka.

Merekam kenyataan pendidikan lewat obrolan dengan guru dan siswa tentang hasil UN pascapengumuman membuat dada sungguh terasa sesak. Ada beberapa siswa yang menempati ranking pertengahan di kelas gagal UN 2007, padahal mereka mengikutinya dengan jujur dan tidak curang.

Logikanya, kalau mereka gagal seharusnya setengah dari teman sekelasnya gagal. Namun, banyak yang rankingnya di bawah mereka lulus dengan rerata 7-9. Mereka lalu ikut ujian paket C dan batal ikut SPMB. Mereka ini tentu divonis pemerintah sebagai anak malas, yang wajar tidak lulus.

Benarkah demikian? Ada satu sekolah yang lulus 100 persen di mana banyak siswa yang justru malas belajar lulus dengan rerata 8-9. Siswa itu sendiri mengakui bahwa mereka mendapat soal UN dari sebuah SMA negeri.

Guru yang mendengar penuturan itu hanya bisa tercengang dan mengurut dada. Ada kelas yang reratanya di atas kelas unggulan karena memang seluruh siswa di kelas itu mendapatkan bocoran jawaban UN, sedangkan siswa kelas unggulan lebih memilih untuk berusaha sendiri.

Kenyataan-kenyataan yang sulit dibuktikan. Tapi kenyataan itu ada di sana, di antara siswa, sekolah, dan guru, dan akankah pemerintah kita akan membuka matanya untuk melihat hal ini? Akankah menteri dan pejabat kita turun tanpa rombongan dan tanpa status pemerintahan untuk melihat dan mendengar kenyataan pendidikan yang sesungguhnya dan bukan turun untuk melihat dan mendengar apa yang ingin didengar dan dilihatnya?

Akankah pemerintah kita mau menjadi pejabat yang hadir di antara sekolah, murid dan guru, dan bukan hanya mendengar laporan yang indah-indah ataupun sekadar pamer angka-angka statistik dan rerata yang sudah tercemar oleh kecurangan yang kasatmata?

Dalam dunia pendidikan dikenal dua kurikulum, yaitu kurikulum yang tertulis dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum). Yang kedua ini adalah sesuatu yang diajarkan tanpa terekam dalam buku maupun ucapan guru. Kurikulum yang tersembunyi ini sangat memengaruhi proses pembelajaran yang dialami siswa.

Adalah sia-sia mengajarkan moral kemanusiaan kepada anak-anak bila siswa yang tidak mampu membayar uang sekolah dikeluarkan, atau bila sekolah dan guru memperlakukan siswa istimewa karena statusnya sebagai anak pejabat dan anak pengusaha.

Tindakan menerima siswa di sekolah negeri semata-mata karena status sebagai anak pejabat atau anak anggota dewan akan menihilkan semua pelajaran moral tentang integritas dan pendidikan yang mengutamakan obyektivitas.

Kurikulum tersembunyi sering kali justru membatalkan kurikulum yang dituliskan dalam pelajaran yang telah disusun. Kurikulum tersembunyi justru bisa menjadi pendidikan yang memformasi, sedangkan kurikulum tertulis hanya sekadar sesuatu yang menginformasi.

Apa kurikulum moral yang tersembunyi di balik pembiaran kecurangan yang terjadi? Bahwa curang demi keberhasilan itu boleh di Indonesia, bahwa pendidikan bukan soal kecerdasan, tetapi soal kelicinan menyelamatkan diri, bahwa guru yang baik bukan guru yang jujur tetapi guru yang menolong meski harus mengkhianati hati nurani, bahwa pelajaran moral itu hanya teori saja, dalam hidup yang penting fleksibel tergantung situasi.

Ke manakah semua ini akan membawa generasi depan bangsa Indonesia? Krisis moral yang berat, berkepanjangan, dan terbentuknya suatu masyarakat yang sangat skeptis terhadap omongan soal moral dan kebenaran. Ini semua seperti menanti dengan sinis di ujung perjalanan ini. Semoga Tuhan berbelas kasihan kepada anak-anak bangsa ini.

Denni B Saragih, Koordinator Komunitas Air Mata Guru di Medan

Selamat siang dunia!

setelah beberapa lama kepikiran, akhirnya saya putuskan untuk buat blog pribadi. disini saya akan posting juga semua tulisan saya yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai staf Perkantas, pembina Komunitas Air Mata Guru, pendiri Bimbel C-4 SOLUTION, sebagai suaminya Desi Silaen, sebagai penulis di KOMPAS dan media lainnya, dan sebagai pejuang hak asasi dan pendidikan...