Catatan Kritis Kurikulum 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan (dan No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan alias KTSP di Indonesia. Sebagaimana ramai diulas, mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di satuan pendidikan masing-masing, di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Kental nuansa anti pemberdayaan karena kebijakan tetap berada pada para pejabat Depdiknas dari pusat ke daerah dan bukan pada sekolah-sekolah. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
Menurut Beane (1986), yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah, kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah, kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi di lingkup pendidikan nasional.
Yang ironis hanya guru-guru di sekolah unggul saja yang mendapat penjelasan soal kurikulum 2006. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput. Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Curtis R Finch dan John R Crunkilton ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and State University Amerika Serikat (AS). Dalam karya-karyanya, kedua pakar kurikulum ini menekankan pentingnya sosialisasi atau desiminasi sebelum kurikulum baru dijalankan. Dengan kata lain, sebelum kurikulum baru dijalankan, harus dilakukan desiminasi yang efektif. Untuk mendesiminasi kurikulum (baru) terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan; masing-masing menyangkut kesiapan pemakai dan pelaksananya (audience), kondisi geografis (geographical consideration), serta biaya penyebaran informasi (cost).
Bila sistem desiminasi kurikulum tidak efektif, maka sebagus apa pun materi kurikulum akan 'mentah' karena informasi yang diterima masyarakat khususnya pemakai dan pelaksana tak lengkap. Akhirnya, pelaksanaan kurikulum banyak menemui kendala. Dari sisi pemakai dan pelaksana, sampai sekarang kebanyakan guru, kepala sekolah, dan bahkan petugas Dinas Pendidikan belum tahu substansi kurikulum 2006. Belum lagi menyangkut masalah filosofi sampai dengan metodologi implementasinya.
Dari sisi kondisi geografis, kondisi tanah air kita tergolong kurang mendukung dilaksanakannya pergantian kurikulum secara cepat. Mengapa? Karena sistem informasi yang semodern apa pun realitasnya sulit untuk menembus kendala geografis yang tajam. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok, di pegunungan, di tengah laut, dan sebagainya, sangat sering menerima informasi yang terlambat. Dalam hal informasi kurikulum, kiranya juga mengalami nasib yang sama.
Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan. Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan. Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.
Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan. Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K provinsi masing-masing. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota madya itu. Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah.
Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api. Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah?baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan kurang memberikan hasil yang meluas.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Lain halnya kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum. Akan sangat berbahaya jika penerapan KTSP berbanding terbalik dengan kemampuan satuan pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kurikulum produk sendiri. Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien.
Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah online learning. Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah 'kurung batok', instan, dan kerdil kreativitas.
Pertanyaan tentang adanya kontradiksi antara KTSP dan ujian nasional (UN) menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berbeda dengan kurikulum 1994 atau kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam.
Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar