Aktivitas Staff KAMG
Senin, 10 September 2007
Pergi ke kantor DPRD SU untuk menemui Komisi E-DPRD SU, menanyakan tentang janji Komisi E untuk memfasilitasi pertemuan Tripartit antara KAMG-DPRD SU (Komisi E) dan Pihak Yayasan/Sekolah yang memecat dan mengurangi jam mengajar guru-guru anggota KAMG. Setelah diskusi dengan Pak Timbas (Koordinator Komisi E-DPRD SU), beliau mengatakan bahwa pengaduan KAMG tersebut belum pernah dibicarakan di lingkungan Komisi E dengan alasan anggota Komisi E sedang sibuk, dan beliau tidak berani mengambil langkah sendiri. Beliau hanya bisa menjanjikan bahwa nanti sore (senin, 10 Sept) sekitar jam 2, komisi E akan mengadakan rapat dan kasus KAMG ini akan menjadi salah satu agenda rapat Komisi E.
Selasa, 11 September 2007
Menemui Pak Timbas kembali untuk menanyakan bagaimana hasil rapat yang beliau janjikan. Tapi sangat disayangkan, beliau mengatakan bahwa mereka (komisi E) tidak jadi rapat dengan alasan anggota Komisi E pada tidak datang. Setelah diskusi lagi dengan beliau, beliau menyarankan supaya KAMG juga turun ke tingkatan Daerah/kota yaitu untuk mendesak dinas Daerah/Kota supaya mamfasilitasi KAMG bisa menyelesaikan kasus tersebut dengan jalan damai bersama pihak Yayasan/Sekolah dilingkungan daerah/kota tersebut, sembari juga nanti Komisi E akan tetap mengusahakan supaya tuntutan KAMG (yaitu difasilitas bertemu dengan pihak yayasan/kota) di tingkatan Propinsi tetap dilakukan.
Selain itu beliau juga menyerahkan foto copy tembusan surat edaran (tertanggal 22 Agustus 2007) dari Kadis Pendidikan Propsu ke Kadis pendidikan Daerah/kota yaitu Medan, Langkat, Deli Serdang dan Tebing Tinggi. Surat dari Kadis Propsu tersebut berisi supaya masing-masing Kadis di 4 (empat) daerah/kota tersebut menyelesaikan permasalahan KAMG dengan pendekatan personal dan bersifat persuasif edukatif kepada para kepala sekolah, pimpinan yayasan dan para guru yang bersangkutan untuk menjaga kelancaran proses pembelajaran di sekolah.
Rabu, 12 September 2007
Kami pergi ke kantor Dinas Pendidikan Propsu, untuk menanyakan hasil tindak lanjut dan respon Dinas Pendidikan Daerah/Kota atas surat edaran yang dikeluarkan oleh Kadis Propsu tersebut.
Satpam kantor dinas Propsu yang dilantai satu mengatakan bahwa Kepala Dinas lagi ada urusan luar dan kami disarankan untuk bertemu staff ahlinya saja. Kemudian ketika jumpa dengan Satpam di lantai dua, kami diarahkan untuk bertemu Kepala Tata Usaha saja.
Ketika masuk ke ruangan Tata Usaha, kami dilayani oleh salah seorang pegawai di ruangan tersebut, kemudian kami mengutarakan maksud kedatangan kami dan kamipun menyerahkan foto copy surat edaran dari Kadis tersebut, tetapi beliau mengatakan bahwa KTU lagi ada rapat. dan kami disuruh untuk menunggu. Setelah selesai rapat di ruangan rapat Tata usaha, KTU keluar, tetapi beliau belum bersedia menemuii kami dengan alasan ada rapat lain. Sehingga kamipun pulang tanpa hasil.
Jumat, 14 September 2007
Kembali kami mendatangi kantor tata usaha dinas propsu, dan menjumpai pegawai yang kemarin melayani kami, beliaupun menjumpai KTU dan mengutarakan maksud kedatangan kami. Kemudian beliau mengatakan bahwa KTU belum bersedia untuk ditemui dan KTU melalui beliau hanya menyerahkan hasil dengar pendapat antara Mendiknas dengan Komisi X DPR-RI dan kami disuruh memfoto copy. Kami menjelaskan bahwa itu sudah kami miliki, yang kami minta adalah hasil tindak lanjut surat edaran kadis Propsu. Tetapi pegawai tersebut mengatakan mereka tidak tahu menahu tentang surat tersebut dan kami disuruh untuk menanyakan langsung ke Kadis.
Kemudian kami pergi ke kantor Kadis, tetapi kadis tidak ada di tempat dan akhirnya kami dilayani oleh Staff Ahlinya Kadis. Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, beliau menjawab bahwa surat tersebut belum ada hasil. Beliau mengatakan bahwa karena alasan Otonomi Daerah, Kepala Dinas Propsu tidak mempunyai wewenang yang kuat untuk menekan dinas daerah/kota. Beliau menambahkan bahwa Kadis Propsu melalui surat tersebut hanya bisa menyarankan kadis daerah/kota untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dan daerah/kota bisa sesuka hati mau membalas atau tidak surat edaran tersebut.
Kemudian kami menjelaskan bahwa di point 2b surat tersebut dituliskan bahwa setiap langkah dan strategi yang diambil dinas daerah/kota harus dilaporkan ke Dinas Propsu. Tetapi lagi-lagi beliau mengalaskan Otonomi daerah. Beliau mengatakan dengan adanya Otonomi Daerah, tidak ada kewajiban mutlak daerah/kota untuk membalas atau mengindahkan surat edaran Kadis Propsu tersebut.
Senin, 17 September 2007
Kami kembali menjumpai Pak Timbas untuk mendiskusikan hasil yang kami dapat di kantor Dinas Propsu, sekaligus juga menekankan tuntutan KAMG yang pertama kali yaitu supaya difasilitasi bertemu dengan pihak yayasan/sekolah. Kemudian bapak itu kembali menyarankan supaya kami tetap turun langsung ke dinas daerah/kota sekaligus juga menanyakan tentang surat edaran kadis Propsu itu langsung di daerah. Sewaktu kami nanti turun ke dinas daerah, beliau berjanji akan mengontak anggota DPRD (lewat Fraksi PKS )di daerah yang akan kami kunjungi supaya memfasilitasi kami bertemu dengan kepala Dinas daerah/kota. Dan bapak itu juga menjanjikan tentang tuntutan KAMG ke DPRD SU akan dibicarakan pada rapat Komisi E nanti sore Jam 2.
Selasa. 18 September 2007
Kami menghubungi kembali Pak Timbas, untuk menanyakan hasil rapat Komisi E. Beliau mengatakan bahwa hasil rapat komisi E adalah mereka menyurati Kadis Propsu untuk mempertanyakan hasil tindak lanjut surat edaran Kadis Propsu. Kemudian beliau menjanjinkan kalau surat komisi E tersebut tidak ditanggapi oleh Kadis propsu, maka Komisi E akan memanggil langsung Kadis Propsu. Kemudian kalau kedua cara tersebut tidak membuahkan hasil, maka Komisi E menjanjinkan akan memfasilitasi KAMG untuk bertemu pihak Yayasan/Sekolah.
Rabu, 19 September 2007
Kami pergi ke DPRD Deli Serdang (Fraksi PKS) meminta supaya di fasilitasi bertemu dengan Dinas Pendidikan DS. Tetapi karena ada sedikit Misscomunication antara Pak Timbas dengan dengan Fraksi PKS DS maka kami tidak jadi bisa bertemu dengan Kadis DS.
Senin, 24 September 2007
Kami pergi lagi ke Fraksi PKS DS. Disana kami bertemu dengan Uztad Latief (Ketua Fraksi PKS) dan meminta beliau untuk memfasilitasi kami bertemu dengan Kadis DS. Setelah diskusi sebentar, kemudian beliau membawa kami langsung menuju kantor Dinas Pendidikan DS. Disana kami tidak bertemu dengan Kadis karena sedang ada dinas luar. Maka kami dilayani oleh KTU (Pak Surya). Sesudah mengutarakan maksud kedatangan kami, beliau mengatakan bahwa masalah KAMG ini sudah diusut dan untuk ini sudah dibentuk Tim Khusus yang diketuai oleh pak Zul Syahrizal.
Menurut penuturan Beliau, hasil pengusutan itu dijelaskan bahwa para guru dipecat dan dikurangi jam mengajarnya salah satu alasannya menurut sekolah adalah karena berkurangnya jumlah siswa sehingga sekolahpun harus mengurangi jam mengajar guru. Kemudian kami mengatakan bahwa kekecewaan KAMG selama ini bahwa Dinas Pendidikan hanya mendengarkan apa kata Yayasan/sekolah dan tidak pernah menanyakan KAMG (dalam hal ini guru-guru yang dipecat atau yang dikurangi jam mengajarnya).
Kemudian beliau menyarankan supaya kami membuat surat permohonan resmi dari KAMG berisi harapan KAMG ke Dinas DS dan beliau juga menyarankan kami bertemu langsung dengan ketua tim untuk menanyakan kejelasan hasil investigasi mereka. Beliau juga berjanji akan menyuruh Pak Zul untuk menghubungi kami.
Selasa, 25 September 2007
Bertemu dengan Indira (Bagian Diakonia bidang anak PGI Pusat).
Rabu, 26 September 2007
Sampai hari ini kami tidak pernah dihubungi oleh Pak Zul. Akhirnya kami yang menghubungi Pak Zul lewat nomor HP yang diberikan oleh Pak Surya, tetapi nomor yang diberikan itu tidak aktif-aktif. Setelah sampai di kantor dinas kami telepon kembali beliau tetapi tetap tidak aktif.
Kemudian kami bermaksud menjumpai Pak Surya karena Pak Zul tidak bisa dihubungi. Tetapi menurut pegawai Tata Usaha, Pak Surya sedang ada tamu dan tidak bisa diganggu. Kemudian kami SMS Pak Zul dengan maksud meminta Beliau untuk berkenan menemui kami dan setelah menunggu beberapa lama SMS tersebutpun masuk tetapi tidak ada tanggapan.
Setelah kira-kira jam 11.30 Wib, Pak Surya keluar dan kami menanyakan bagaimana tindak lanjut dari pembicaraan kami tempo hari, tetapi beliau tidak memberi tanggapan apa-apa (mungkin karena kami datang tidak bersama anggota DPRD lagi), dan beliau hanya mengarahkan kami untuk bertemu dengan Pak Zul secara langsung. Kemudian beliau menunjukkan kantornya Pak Zul.
Kemudian kami masuk ke kantor Dikmenjur (Pak Zul sebagai Koordinator), dan disana kami bertemu pegawai Dikmenjur (Mattohir Siregar), dan kami menyatakan bahwa kami ingin bertemu dengan Pak Zul. Tetapi beliau mengatakan bahwa Pak Zul sedang istirahat (tidur) dan tidak bisa diganggu padahal masih pukul 11.30 WIB.
Kami tanyakan kembali berapa lama beliau istirahat, tetapi pegawai tersebut mengatakan tunggu sajalah dulu. Setelah jam 12.00 WIB, kami menanyakan kembali jam berapa biasanya beliau selesai istirahat, tetapi pegawai yang lain (cewek) mengatakan “kan ada waktunya istirahat dan ada waktunya menerima tamu, jadi tunggu sajalah dulu”. Dan mereka mengatakan istirahat biasanya sampai jam 13.00 WIB. Kemudian kami pergi, dan mengatakan bahwa kami akan datang lagi jam 13.00 WIB.
Pukul 13.00 WIB kami datang lagi dan menemui pegawai tersebut, tetapi mereka mengatakan bahwa Pak Zul sudah keluar dan tidak tahu apakah masih kembali atau tidak. “Baru saja kalian pergi, Pak Zul sudah keluar, makanya tadi ditunggu saja” kata pegawai cewek tadi. Padahal mereka yang bilang tadi, bahwa jam istirahat biasanya sampai pukul 13.00 WIB.
Hidup Harus Dimaknai...
"He tookupon himself, literally and historically, the force and weight of the evil systems of the world, that reveal their evil nature by crushing human beings, human freedom,human love. It is not merely a theological or spiritual truth that Jesus bore the sin of the world: on the first Good Friday, it was politically and historically true. That is why it changed the world" Tom Wright
Kamis, 27 September 2007
Selasa, 18 September 2007
Tulisan Tentang KTSP
Catatan Kritis Kurikulum 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan (dan No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan alias KTSP di Indonesia. Sebagaimana ramai diulas, mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di satuan pendidikan masing-masing, di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Kental nuansa anti pemberdayaan karena kebijakan tetap berada pada para pejabat Depdiknas dari pusat ke daerah dan bukan pada sekolah-sekolah. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
Menurut Beane (1986), yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah, kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah, kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi di lingkup pendidikan nasional.
Yang ironis hanya guru-guru di sekolah unggul saja yang mendapat penjelasan soal kurikulum 2006. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput. Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Curtis R Finch dan John R Crunkilton ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and State University Amerika Serikat (AS). Dalam karya-karyanya, kedua pakar kurikulum ini menekankan pentingnya sosialisasi atau desiminasi sebelum kurikulum baru dijalankan. Dengan kata lain, sebelum kurikulum baru dijalankan, harus dilakukan desiminasi yang efektif. Untuk mendesiminasi kurikulum (baru) terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan; masing-masing menyangkut kesiapan pemakai dan pelaksananya (audience), kondisi geografis (geographical consideration), serta biaya penyebaran informasi (cost).
Bila sistem desiminasi kurikulum tidak efektif, maka sebagus apa pun materi kurikulum akan 'mentah' karena informasi yang diterima masyarakat khususnya pemakai dan pelaksana tak lengkap. Akhirnya, pelaksanaan kurikulum banyak menemui kendala. Dari sisi pemakai dan pelaksana, sampai sekarang kebanyakan guru, kepala sekolah, dan bahkan petugas Dinas Pendidikan belum tahu substansi kurikulum 2006. Belum lagi menyangkut masalah filosofi sampai dengan metodologi implementasinya.
Dari sisi kondisi geografis, kondisi tanah air kita tergolong kurang mendukung dilaksanakannya pergantian kurikulum secara cepat. Mengapa? Karena sistem informasi yang semodern apa pun realitasnya sulit untuk menembus kendala geografis yang tajam. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok, di pegunungan, di tengah laut, dan sebagainya, sangat sering menerima informasi yang terlambat. Dalam hal informasi kurikulum, kiranya juga mengalami nasib yang sama.
Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan. Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan. Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.
Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan. Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K provinsi masing-masing. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota madya itu. Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah.
Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api. Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah?baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan kurang memberikan hasil yang meluas.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Lain halnya kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum. Akan sangat berbahaya jika penerapan KTSP berbanding terbalik dengan kemampuan satuan pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kurikulum produk sendiri. Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien.
Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah online learning. Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah 'kurung batok', instan, dan kerdil kreativitas.
Pertanyaan tentang adanya kontradiksi antara KTSP dan ujian nasional (UN) menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berbeda dengan kurikulum 1994 atau kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam.
Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan (dan No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan alias KTSP di Indonesia. Sebagaimana ramai diulas, mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di satuan pendidikan masing-masing, di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Kental nuansa anti pemberdayaan karena kebijakan tetap berada pada para pejabat Depdiknas dari pusat ke daerah dan bukan pada sekolah-sekolah. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
Menurut Beane (1986), yang dimaksud cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah, kurikulum hanya berupa sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik, sedangkan cara pandang kurikulum dalam arti luas adalah, kurikulum di samping berupa daftar kumpulan mata pelajaran juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi di lingkup pendidikan nasional.
Yang ironis hanya guru-guru di sekolah unggul saja yang mendapat penjelasan soal kurikulum 2006. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput. Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Curtis R Finch dan John R Crunkilton ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and State University Amerika Serikat (AS). Dalam karya-karyanya, kedua pakar kurikulum ini menekankan pentingnya sosialisasi atau desiminasi sebelum kurikulum baru dijalankan. Dengan kata lain, sebelum kurikulum baru dijalankan, harus dilakukan desiminasi yang efektif. Untuk mendesiminasi kurikulum (baru) terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan; masing-masing menyangkut kesiapan pemakai dan pelaksananya (audience), kondisi geografis (geographical consideration), serta biaya penyebaran informasi (cost).
Bila sistem desiminasi kurikulum tidak efektif, maka sebagus apa pun materi kurikulum akan 'mentah' karena informasi yang diterima masyarakat khususnya pemakai dan pelaksana tak lengkap. Akhirnya, pelaksanaan kurikulum banyak menemui kendala. Dari sisi pemakai dan pelaksana, sampai sekarang kebanyakan guru, kepala sekolah, dan bahkan petugas Dinas Pendidikan belum tahu substansi kurikulum 2006. Belum lagi menyangkut masalah filosofi sampai dengan metodologi implementasinya.
Dari sisi kondisi geografis, kondisi tanah air kita tergolong kurang mendukung dilaksanakannya pergantian kurikulum secara cepat. Mengapa? Karena sistem informasi yang semodern apa pun realitasnya sulit untuk menembus kendala geografis yang tajam. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok, di pegunungan, di tengah laut, dan sebagainya, sangat sering menerima informasi yang terlambat. Dalam hal informasi kurikulum, kiranya juga mengalami nasib yang sama.
Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan. Di samping membingungkan, model berbagai kegiatan ilmiah selama ini hanya mendengarkan orang berceramah, tanpa action plan yang serius sehingga dapat dikembangkan dan diimplementasikan oleh guru setelah sampai di sekolah. Bahkan, mungkin si penceramah itu hanya mampu secara teoretik tapi miskin implementasi dan pengalaman, sehingga action plan yang dilakukan hanya untuk menghabiskan waktu kegiatan. Model kegiatan semacam itu tidak pernah diadakan evaluasi, yaitu penagihan dalam bentuk implementasi dari peserta kegiatan. Sebaliknya, guru yang mengikuti kegiatan ilmiah tanpa membekali dirinya dengan tema kegiatan yang diikuti, sehingga dalam kegiatan mereka asyik mencatat apa yang diucapkan oleh pembicara.
Padahal, penyelenggara kegiatan jauh-jauh hari mestinya dapat menginformasikan segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal semacam ini tidak pernah dilakukan. Akumulasi dari semua kegiatan tersebut dapat diprediksi: tidak ada perubahan kinerja yang dapat membawa ke arah peningkatan kompetensi guru dan mutu pendidikan. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai pergantian kurikulum toh tidak ada perubahan dan tampaknya tidak dijadikan bahan refleksi oleh birokrat pendidikan maupun lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K provinsi masing-masing. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota madya itu. Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah.
Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api. Sudah terbukti berkali-kali bahwa pergantian kurikulum tidak dapat membawa perubahan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kegiatan ilmiah?baik penataran guru, seminar, dan pelatihan-pelatihan kurang memberikan hasil yang meluas.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Lain halnya kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum. Akan sangat berbahaya jika penerapan KTSP berbanding terbalik dengan kemampuan satuan pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kurikulum produk sendiri. Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien.
Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah online learning. Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah 'kurung batok', instan, dan kerdil kreativitas.
Pertanyaan tentang adanya kontradiksi antara KTSP dan ujian nasional (UN) menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Berbeda dengan kurikulum 1994 atau kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam.
Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata
Catatan Haru Tentang Guru
Hari ini ..adalah genap tahun yang kelima puluhaku mengabdi sebagai guru,walaupun sekarang aku sudah pensiun.lima puluh tahun aku lalui,melewati jalan yang datar dan membosankan.lima puluh tahun yang lalu aku jalani,melewati jalan yang rutin tanpa tantangan.mungkin aku diciptakan dalam garis yang demikian.agar komplit isi jajaran jabatan dalam Republik ini.Ulang tahun ini,pesta emas pengabdian initak dirayakan.Apa yang akan dirayakan?Toh tak ada prestasi yang menonjolyang perlu dipestakan.Pengabdian itu lumrah.Pengorbanan itu biasa.Aku hanya merayakandalam lubuk hatiku yang paling dalam.Air mataku menetesaku telah memenangkan perang,aku telah mengalahkan diriku,dengan setia dan taat tetap pada tempatku,dengan loyal dan keyakinan tetap pada jabatanku,menjadi pendidik di tanah merdeka ini.Berkali-kali Menteri Pendidikan berhentiberkali-kali Menteri Pendidikan diganti,Menteri Pendidikan datang,Menteri Pendidikan pergi.Berganti-ganti,berulang kali,menyusun konsep pendidikan.Mengobrak-abrik lagitanpa henti.Oh, amit-amit jabang bayi..Kapan konsep yang mapan akan terjadi?Sebagai guruaku hanya nurut dan manut,karena disitu aku nunut hidup,salah-salah jabatanku dicabut.Menjadi guruadalah panggilan.Menjadi kayaadalah kenyataan.Hidupku adalah untuk mengabdi dan mengabdikepada anak-anak orangsementara anak sendiri keleleran.Sebagai guru golongan IV,pengalaman 38 tahungajiku hanya Rp 432.000,-Memberi les untuk menambah pendapatan,dilarang oleh Yayasan.Kaya sedikit dikira terima uang sogokan.Pikiran habis untuk mengirit pengeluaran.tak ada sisa untuk memproduksi mata pelajaran.Tapi Gusti yang Maha Wikan,selalu paring kebaikan.Kami tidak pernah kelaparan.ada saja yang memberi sewaktu kekurangan.Aku hanya berpegang”Barang siapa menanamia setidaknya akan memetik”Nasib gurudari duluselalu diperjuangkantapi tak kunjung dimenangkan.Menjadi guruberarti menjadi panutan,menjadi pedoman hidup lingkungan.Nah..., ini beratkarena aku bukan orang yang bersih dan suci.Sebagai manusia aku ingin kenikmatan.Aku ingin korupsi.Aku ingin uang sogokan.Tapi keadaan dan kesempatan tak memungkinkansehingga aku terpaksa menjadi nabiterpaksa menjadi orang suci.Kemelaratan ini musti disyukuri.Menjadi Guruberarti menjadi pendidiktapi bulu romaku malah bergidikkarena yang aku lakukan hanyalah mengajar,memberinya ilmu hafalan, bukan ilmu menganalisa permasalahanbukan ilmu mengatasi problema kehidupan.Aku mengajar banyak teoribukan praktek nyata keadaan.Sebagai pendidikseorang harus menjadi gurusekaligus menjadi seorang bapak.Sebagai guru ia harus memberi bekal ilmu berlogika.Sebagai bapak ia harus memberi bekal moral dan budi pekerti.Sebagai pendidikyang ingin dicatat dalam peta pembangunan negeri ini,maka aku harus bekerja keras.Enam jam sehari berdiri di muka kelas,dengan wajah menyala dan mulut berbusa.Murid-murid kita ajarkan pelajaran yang sulit,karena hidup ini makin lama makin sulit.Murid kita didik dengan keras dan kejam,karena persaingan makin keras dan kejam.Mereka harus jatuh,hanya orang yang pernah jatuh akan teguh berdirinya.Pada malam pesta emas pengabdian ini,dalam sepi yang menggigit,aku termenung,”Duh.. Gusti.. terima kasihatas segala kebaikan yang engkau berikan.Dalam umurkuyang menginjak usia tujuah puluhanaku masih amat sehat.Inilah akibat hidup sederhana yang teratur,walau tak pernah kaya,tapi juga tak pernah stress.””Duh Gusti..aku sangat berbahagia..pengabdianku,pengorbananku,tak sia-sia.Sepeda reyot ini sebagai saksiaku telah membuahkanmurid-muridku menjadi orangAda yang jadi wakil rakyat di EM PE ER,ada yang jadi walikota,ada yang jadi pejabat teras,ada yang jadi Jendral,ada yang jadi Kopral,ada yang jadi dokter di Puskesmas,ada yang jadi pengusaha kelas kakap,ada yang jadi pengusaha kelas mujahir,ada yang jadi seniman kaliber nasionalbahkan internasional.””Duh Gusti...aku juga merasa berduka dan gagal,tatkala aku melihat murid-muridkumenjadi sampah....Menjadi sopir becak di kampung-kampung,kuli-kuli di pelabuhan,dan menjadi penjahat yang mati,dibunuh penembak misterius,.Duka dan suka itulah kehidupan,oh alangkah bahagiannya,seandainya murid-muridkumasih teringatbekas gurunyayang peyot dan menunggu saatnya.””Duh Gusti...pada pesta emas pengabdian iniaku menggigil,mataku berkaca-kaca,lantaran menerima,undangan dari para bekas muridkureuni bersama dan akan memberikan tanda mata.”Barang siapa menanam,ia setidaknya akan memetik.aku memetik kebahagiaan seorang guruyang tak pernah dirasakan orang lain.[Dikutip dari: "Potret Wajah Kita" perihal "Nasib Guru" oleh Aloysius S.Widodo, terbitan 2004].
Langganan:
Postingan (Atom)