Anugerah itu indah. Lihat si bungsu yang hilang itu. Ia menjual harta papanya, dan berfoya-foya. Ah, sepatutnya ia menderita. Ada yang ingin agar ceritanya berakhir berbeda. Ia mati dipatuk ular, mayatnya terlempar ke parit, dan bangkainya dimakan anjing. Hmm, mungkin cerita seperti itu menampung sebagian rasa keadilan.Tetapi cerita seperti itu keras, kasar dan melukai. Anugerah itu indah. Karena si bungsu itu tidak dihakimi. Ia dirangkul, dicium dan diberi pakaian indah. Betapa indahnya anugerah!
Karena itulah anugerah itu juga kuat, perkasa. Seseorang ngoceh yang menyakiti hati. Anugerah membalasnya dengan keramahan. Ocehan itu berulang lagi, anugerah bertahan dan menanti. Seperti bapa itu menanti anak yang hilang. Ocehan itu tidak lagi sekedar ocehan tetapi sampah kotor yang dibuang di wajah. Wajar sakit hati, wajar ada rasa benci, wajar jika dendam menabur benih. Itu semua manusiawi. Tetapi anugerah cukup perkasa untuk menuliskan semua rasa ini menjadi selantun doa. Karena di altar Tuhan semua bisa berubah menjadi titik air mata, merambat kepada pertobatan dan kesadaran hanya kenangan akan Anugerah, yang akan mengambil semua kekuatan jahat itu dan membalasnya dengan kasih dan penyerahan diri.
karena itupula anugerah itu hangat. Ia merangkul, tidak menolak. Ia mendekat, tidak menjauh. Ia tersenyum, tidak mencibir. Ia menatap dan tidak membuang muka. Ucapan yang kasar membangkitkan amarah. Dan kemarahan seperti sebuah besi yang terbakar, panas dan melukai, tetapi kemudian setelah dingin logam itu menjadi sebentuk pedang yang keras, tajam dan melukai. Anugerah tidaklah seperti sebuah besi. Kemarahan dan rasa tidak suka adalah perasaan manusiawi. Dalam tangan anugerah semua itu menjadi arena. Hanya dalam arena inilah kita mengenal anugerah. Diluar arena ini kita mengenal kasih sayang dan cinta. Cinta berbalasa cinta, kasih sayang berbalas kasih sayang, itu sangat manusiawi. Baik adanya. tetapi anugerah punya arena yang berbeda. Itulah amarah dan benci. Ketika amarah dan benci menguasai, itulah waktunya anugerah berdiri dan berbicara. Menyapa sesama dengan keramahan dan cinta kasih.
Sang Guru berkata, "kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu". Hmm dalam kalimat ini, kita diajak menyelami betapa dalamnya samudera anugerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar